1.
Pengertian
hukum perikatan
Hukum
perikatan adalah
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat
hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat
dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum
Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan
untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan
perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya;
perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi
sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
2. Dasar
hukum perikatan
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang
berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan
terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang
timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III,
yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara
orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga
yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar
dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.
Azas – azas dalam
hukum perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
4.
Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
Suatu
perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian
itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1.
perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar,
penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
2. perjanjian untuk berbuat sesuatu,
misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat
sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila
si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia
melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa
empat macam :
1. tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya;
2. melaksankan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya
tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai
perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan,
jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu
harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan,
maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.
Sanksi
yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam,
yaitu:
1.
membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi;
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga
unsur: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika
seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk
mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga
pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak
iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si
debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah
konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat
tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu
dalam dua unsur, yaitu dommages et interests.
Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti
kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi,
oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari
apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan
mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat
diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian
biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam
pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran
sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu
terlambat, adalah berupa interest, rente atau
bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga
moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu
alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga
bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak
dimasukkannya surat gugatan.
2.
pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
Pembatalan perjanjian, bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya
perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik
uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu
ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena
kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai
perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu
dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk
memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka
waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus
dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur
nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif,
secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi
“Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan,
“Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan
discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian
debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin
menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu
kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar
bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh
hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur
untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3.
peralihan
resiko;
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan
“resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa
di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan
demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka
resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun
barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan
barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si
pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih
kepada dia.
4.
membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Tentang pembayaran ongkos biaya
perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul
dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan
membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak
kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
1. pemenuhan perjanjian;
2. pemenuhan perjanjian disertai ganti
rugi;
3. ganti rugi saja;
pembatalan
perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
5. Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika
memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10
(sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1.
Novasi
obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2. Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
§ Kedua-duanya
berpokok sejumlah uang atau.
§ Berpokok sejumlah barang yang dapat
dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang
dapat diganti.
§ Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
Pembebasan
utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya
barang yang terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
Disebut
batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau
hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat
bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat
yang membatalkan
Yang
dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu
dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang
dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat
batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau
hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif.
Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku
surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
6. Contoh
kasus Hukum Perikatan
Kasus Surabaya Delta Plaza
·
Kronologi
Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) dibuka dan
disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk
memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota
Surabaya itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT
surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III
itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture.
Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola PT Surabaya Delta
Plaza (PT. SDP) mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan
Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga
sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa
menyewa ruangan. Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya pada PT
Surabaya Delta Plaza (PT. SDP), tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30
April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua
permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola
PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris
Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal
perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin
menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan
pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40
tersebut, tidak berlaku karena pihak PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali
di akhir tahun 1991. Namun pengelola PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP)
berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar
US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah
uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah,
Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola PT Surabaya
Delta Plaza (PT. SDP), yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) menutup
COMBI Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola PT Surabaya Delta
Plaza (PT. SDP) menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
·
Analisis
Kasus
Setelah pihak PT. Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) mengajak
Tarmin Kusno untuk berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Surabaya
tersebut, maka secara tidak langsung PT. Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dan
Tarmin Kusno telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan dibuktikan dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338
BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga
dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT.
Surabaya Delta Plaza dan Tarmin Kusno mempunyai keterikatan untuk memberikan
atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian yang telah dibuat.
Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah
pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT. Surabaya Delta Plaza dan
Tarmin Kusno tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah
diatur dalam pasal 1320 BW. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan
sudah ada kesepakatan, karena pihak PT. Surabaya Delta Plaza dan Tarmin Kusno
dengan rela tanpa ada paksaan dari pihak manapun untuk menandatangani isi
perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT. Surabaya Delta Plaza yang
dibuktikan dihadapan Notaris.
Tapi ternyata Tarmin Kusno tidak
pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT Surabaya
Delta Plaza, dia tidak pernah peduli terhadap tagihan – tagihan yang datang
kepadanya dan dia tetap bersikeras untuk tidak membayar semua kewajibannya.
Maka dari itu Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar
perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT
Surabaya Delta Plaza setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa
dan menggugat Tamrin Kusno di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan
dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT Surabaya Delta Plaza bisa
dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam
pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang
telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya
dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah
dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT
Surabaya Delta Plaza bisa menuntut kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi
suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan
bulanan kepada PT Surabaya Delta Plaza.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar